Pendidikan Karakter, Untuk Siapa?




Abd. Karim Tahir
Ketua Pusat Belajar Guru (PBG)  Gowa

Pembicaraan tentang pendidikan karakter mulai ramai kembali sejak Presiden menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). PPK merupakan bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang dicanangkan oleh Presiden. Dalam Perpres tersebut disebutkan bahwa PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan. Tujuannya adalah untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga. Disebutkan pula bahwa pelaksanaan PPK melibatkan semua satuan pendidikan, keluarga dan juga masyatakat.
Pentingnya pelaksanaan PPK terlihat dari adanya tiga kementerian yang dilibatkan, yaitu; Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri, termasuk di dalamnya adalah Pemerintah Daerah. Selanjutnya  pada Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 yang merupakan turunan dari Perpres Nomor 87 Tahun 2017 dikemukakan bahwa ada lima karakter utama yang menjadi fokus. Kelima karakter itu adalah; religiutas, nasionalisme, kemandirian, gotong royong, dan integritas.
Pendidikan karakter sebenarnya bukanlah perkara baru. Program ini hanyalah pengulangan dari program serupa yang telah ada sebelumnya. Pada masa Orde Baru misalnya, diadakan Penataran Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila disingkat P4. Negara menyusun 36 butir pancasila yang harus dihapal oleh setiap siswa pada berbagai tingkatan pendidikan. Pejabat dan masyarakat biasa pun tidak luput, mereka harus mengerti kandungan butir-butir P4 dan bagaimana implementasinya dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa dan bernegara. Tidak cukup dengan Penataran P4, di sekolah diajarkan juga mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP).
Memasuki era Reformasi,  P4 dengan butir-butirnya dihilangkan, pelajaran PMP pun hapuskan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kemudian diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Pada masa Reformasi ini pula dibuat pengintegrasian antara Ilmu Pengetahuan, Iman dan Takwa (IPTEK-IMTAK) untuk semua mata pelajaran. Tetapi gaungnya terkesan sayup-sayup dan perlahan surut hingga tidak terdengar lagi. Ditelan oleh riuhnya persoalan bangsa yang hendak diselesaikan berkaitan dengan agenda reformasi yang semakin menumpuk.
Lalu, bagaimana efek dari program-program tersebut? Jika sarannya adalah menumbuhkan karakter generasi muda sesuai dengan yang diinginkan. Maka bisa dikatakan bahwa program ini belum menuai hasil sebagaimana yang diharapkan. Indikasinya jelas, fakta-fakta menunjukkan bahwa moralitas bangsa ini mengalami degradasi yang sangat parah. Pelajar yang tawuran, terlibat narkoba, seks bebas, aksi kekerasan dan perilaku-perilaku amoral lainnya setiap saat menghias ruang-ruang pemberitaan kita. Dimasyarakat umum aksi kejahatan masih marak. Dikalangan pejabat, korupsi, kolusi, dan nepotisme yang merupakan agenda besar reformasi semakin menunjukkan angka yang gila-gilaan.
Mengapa ini terjadi? Penyebab utamanya adalah karena pendidikan karakter hanya diteorikan. Sekedar dikaji di ruang-ruang seminar, dikuliahkan, diworkshopkan. Guru-guru sekedar menulis dengan rapi dalam silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)-nya. Padahal karakter tidak cukup dengan diteorikan. Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah dicontohkan, diteladankan. Pendidikan karakter tanpa teladan tidak akan membekas. Bagaimana mungkin siswa akan patuh pada nilai tertentu sementara sang penyeru dari nilai itu melakukan hal yang sebaliknya.
Kadang miris melihatnya. Sebuah sekolah mewajibkan siswanya Shalat Dzuhur berjamaah. Siswanya berbondong-bondong menuju masjid, sementara gurunya asyik membahas pembagian dana BOS di ruang guru. Lebih aneh lagi, seorang guru BK menghukum siswa yang kedapatan merokok sambil mulutnya tidak berhenti mengisap rokok. Siswa diminta datang tepat waktu lalu gurunya terlambat, pun tanpa rasa bersalah. Siswanya diajari tentang kejujuran, sementara hampir tiap hari media pemberitaan mewartakan korupsi para pejabat. Siswa diajari tentang kerukunan sementara para elit saling menghujat, mencaci hanya karena beda pilihan politik. Pejabat-pejabat berpidato seolah-olah bersih layaknya malaikat sementara ucapan dan tindakannya penuh kedustaan.
Maka benar ketika suatu ketika beberapa anggota dewan mengsosialisasikan tentang pencegahan korupsi di kalangan pelajar, seorang pelajar yang kritis mendebatnya. "Mengapa anda mengsosialisasikan pencegahan korupsi kepada kami, sementara Anda-lah para pejabat yang banyak melakukan tindakan terkutuk itu?" Katanya dengan tegas.
Karakter harus dicontohkan. Artinya jika ingin melihat PPK ini berhasil maka yang pertama harus dipahamkan dan dipastikan menjadi pelaksana pertama dari nilai karakter itu adalah guru dan para pejabat. Karena mereka adalah patron dari siswa.
Rasulullah SAW lebih dari 14 abad yang lalu telah memberikan teladan yang sempurna. Jika memerintahkan sesuatu, beliau adalah orang yang pertama melaksanakannya. Ucapannya selaras dengan perbuatannya. Hasilnya sangat spektakuler, Beliau memetik buah kepatuhan dari pengikut-pengikutnya, perintahnya dipatuhi. Hanya dalam tempo tiga puluh dua tahun di bawah kepemimpinannya Umat Islam mampu membentuk sebuah negara kuat, Daulah Islam di Madinah.  Di tangan sahabat-sahabatnya setelah Beliau wafat, negara Islam Madinah menguasai seluruh Jazirah Arab dan bahkan menyeberang ke Afrika. Pada periode selanjutnya Islam berjaya di Eropa, Senvilla dan  Cordoba adalah dua kota penting yang menjadi saksi kemajuan Islam di Andalusia (Spanyol). Inilah kekuatan dari keteladanan. Ini pula yang seharusnya diadopsi dalam pengelolaan pendidikan karakter.
Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara juga menekankan pentingnya keteladanan ini. Ketika berbicara tentang peran guru, Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga konsep utama, yaitu : 1) Ing ngarso sung tulodo (jika berada di depan, maka harus mampu memberi teladan atau contoh perilaku yang baik); 2) Ing madya mangun karso (jika berada di tengah, maka harus mampu membangkitkan tekad, kemauan, dan tenaga untuk mencapai tujuan yang diharapkan);dan 3) Tut wuri handayani  (jika berada di belakang, maka harus mampu memberi dukungan atau pengaruh).
Ki Hajar Dewantara pun memastikan pentingnya keteladan dalam proses pendidikan. Jika demikian maka guru sebagai unsur terdepan dan berinteraksi langsung dengan para siswa harus menjadi pribadi-pribadi yang pantas diteladani. Guru tidak sekedar pintar tetapi juga harus berakhlak mulia. Hanya dari guru yang demikian diharapkan lahir siswa yang berkarakter yang siap membawa bangsa ini ke arah kemajuan yang bermartabat.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nilai Pappasang 1

KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA KELONG

Guru Inspiratif