Cingkrang
CINGKRANG
Abd. Karim Tahir
(Ketua PBG Gowa)
Ribut tentang
celana cingkrang membuat saya penasaran. Cingkrang itu apa sih? Menurut KBBI
(Kamus Besar Bahasa Indonesia) cingkrang artinya “sangat pendek”. Kalau begitu
celana cingkrang berarti celana yang sangat pendek. Sementara yang diributkan
selama ini adalah celana panjang yang menggantung di atas mata kaki. Model
celana ini digunakan oleh sebagian kaum Muslimin untuk menghindari isbal atau
menjulurkan kain sampai ke mata kaki. Dalam beberapa riwayat perbuatan ini
dilarang oleh Nabi Muhammad SAW. Jadi celana yang dimaksud tidak tepat disebut
celana cingkrang, lebih cocok menyebutnya celana anti isbal kalau mau lebih
keren singkat saja celtibal.
Andai
saja yang dipersoalkan
adalah celana cingkrang versi KBBI saya kira tidak terlalu memancing keributan,
bahkan kemungkinan akan banjir dukungan. Bukankah penggunaan celana semacam itu
di tempat-tempat umum telah meneror mental kita dan anak-anak selama ini. Heran juga kok bukan yang ini yang dilarang.
Bayangkan jika orang-orang yang bercelana sangat pendek dibiarkan berkeliaran
dan membuat aksi di mana-mana apa jadinya bangsa ini.
Berbicara
tentang cingkrang, izinkan saya meminjam istilah ini untuk membahas masalah
pendidikan. Menurut saya, perkembangan pendidikan kita yang melambat, antara
lain disebabkan oleh ke-cingkrang-an ini. Sebut saja ke-cingkarang-an berpikir,
atau boleh juga disebut pikiran cingkrang. Pikiran cingkrang itu apa? Lagi-lagi
kalau kita merujuk ke KBBI maka Pikiran cingkrang berarti pikiran (yang) sangat
pendek. Sebuah keputusan yang diambil tidak melalui pemikiran dan pertimbangan
yang mendalam. Nah sekarang ngerti kan?
Di
ruang guru, seorang guru dengan jengkel
bercerita tentang keadaan kelas yang baru saja ditinggalkannya. Dia mengeluh
disertai kedongkolan yang sulit terlukiskan, beberapa kali dia harus berhenti
bercerita untuk mengatur nafasnya yang tersengal dilumat amarah. Guru-guru yang
lain menyimak dengan setia, sambil sesekali manggut-manggut, kadang memberi
komentar pendek tanda simpati.
Merasa
mendapat respon baik dari guru yang lain, guru ini semakin semangat bercerita
tentang siswanya yang super bandel, kurang ajar, bodoh dan malas. Sebuah
kombinasi yang memang sangat sempurna untuk menaikkan tekanan darah hingga ke
level hipertensi yang bisa berakhir stroke. Endingnya adalah dia bersumpah
untuk tidak lagi mau mengajar di kelas itu dan merelakan siswanya terbengkalai
tanpa menerima pelajaran darinya. Beberapa guru menasihati untuk bersabar dan
tetap masuk mengajar tetapi dia teguh dengan pendiriannya. “Biarkan saja, siapa
suruh membandel” demikian closing statement yang dia ucapkan setelah beberapa
menit menumpahkan kekesalannya.
Jika
anda pernah menyaksikan potongan sinetron seperti kisah di atas, selamat anda
sudah bertemu dengan guru yang mengidap ke-cingkrang-an berpikir. Bagaimana
mungkin dia rela mengorbankan kepentingan siswa demi memuaskan
ke-cingkrang-annya. Aneh kan? Mengapa dia tidak mencoba berpikir lebih jauh,
merganalisa secara mendalam untuk mengetahui permasalahan yang sesungguhnya.
Setelah itu mencarikan jalan keluar yang lebih bijak. Bukan dengan menunjukkan
kekerdilan jiwa, lari dari tanggung jawab dan mengorbankan integritasnya
sebagai pendidik. Jelas ini bukan karakter guru yang pantas dilestarikan.
Kita
tentu sangat prihatin dan maklum betapa karakter anak didik kita terkadang di
luar batas kewajaran. Ruang-ruang pemberitaan hampir setiap hari tersuguhi
berita tentang peserta didik yang melawan guru atau berbagai jenis perilaku
menyimpang lainnya. Tetapi hal ini tidak boleh menjadi alasan untuk
meninggalkan dan mengabaikan mereka. Jika kita melihat persoalan ini secara
komprehensif, maka kita akan mengetahui bahwa prilaku anak-anak kita tidak
berdiri sendiri tetapi merupakan akumulasi dari banyak faktor yang saling
berkaitan. Faktor lingkungan, keluarga, pemerintah, bahkan termasuk pihak guru
(sekolah). Ditambah lagi dengan gegap-gempitanya perkembangan teknologi yang
memengaruhi sikap dan mental peserta didik. Bisa jadi perilaku konyol anak-anak
kita adalah akibat dari kegagapan menghadapi perkembangan zaman. Jadi
persoalannya tidak sesederhana membuat keputusan untuk mogok mengajar dan
mencopoti hak peserta didik untuk mendapatkan pembelajaran.
Lalu
apa yang harus dilakukan? Setiap guru harus memahami identitas dirinya. Seorang
penulis pernah mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara ‘Saya bekerja
sebagai guru’ dan ‘Saya seorang Guru’. Yang pertama berbicara tentang profesi
dan yang kedua berbicara tentang identitas. Profesi terkait dengan gaji,
sedangkan identitas berbicara tentang nilai. Guru yang memahami identitasnya
sebagai pendidik akan bekerja berdasarkan nilai. Dan ini jauh melebihi sekadar
menjalankan fungsi profesi. Nilai-nilai identitas ini terpancar dari cara
berinteraksi dengan siswa dan rekan guru serta semua orang di sekitarnya.
Guru
harus bisa diteladani, diguguh dan ditiru. Menebarkan semangat, memberikan
motivasi, serta bijak dalam bertindak. Begitu banyak problem pembelajaran yang
terjadi di kelas hanya karena pola interaksi antara guru dan peserta didik yang
tidak harmonis. Maka pola interaksi ini yang perlu dijaga dengan baik untuk
menciptakan iklim pembelajaran yang kondisif. Tentu saja tanpa melupakan
hal-hal lain yang tidak kalah pentingnya. Misalnya yang terkait dengan
kemampuan dan kompetensi guru serta kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang
pendidikan. Semoga ke-cingkrang-an berpikir segera berakhir.
Repost: https://karimabdulkarim.blogspot.com/2019/11/cingkrang.html?m=1
Komentar
Posting Komentar