Renungan Hari Kebangkitan Nasional


SDI Versus Budi Utomo;

Renungan Hari Kebangkitan Nasional

Abd. Karim Tahir
Ketua Pusat Belajar Guru (PBG)  Gowa

Memasuki abad ke 20 nasionalisme berkembang di Indonesia. Paham yang berkembang di Eropa ini membawa perubahan besar dalam pola perjuangan melawan kolonialisme-imprealisme. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya semangat kebangsaan yang kemudian menggeser pola perjuangan fisik yang bersifat kedaerahan ke arah perjuangan non fisik yang bersifat nasional (kebangsaan).  Indonesia pun memasuki babak baru,  masa pergerakan nasional.
Pergerakan nasional lahir sebagai wujud dari tumbuhnya kesadaran akan rasa senasib sepenanggungan di kalangan elit, terutama kaum terpelajar. Senasib sepenanggungan, kesamaan sejarah, kesamaan penderitaan sebagai bangsa yang terjajah dan oleh penjajah yang sama, Belanda.  Kesadaran ini yang kemudian memompakan energi untuk  bersama-sama bangkit berjuang dengan cara yang lebih modern sesuai dengan tuntutan zaman,  melalui organisasi pergerakan.
 Masa pergerakan nasional telah meletakkan dasar-dasar yang kokoh bagi Indonesia merdeka. Sangat pantas jika masa pergerakan nasional perlu dikenang untuk melestarikan semangat kebangsaan (nasionalisme) yang memenuhi dada para pejuang ketika itu. Hal inilah yang melandasi peringatan Hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei.   
Dalam buku-buku sejarah terutama buku pelajaran  yang digunakan di sekolah-sekolah disebutkan bahwa penetapan  20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional didasarkan pada tanggal berdirinya Budi Utomo yang diyakini sebagai organisasi modern pertama yang bersifat nasional yang juga berarti pelopor kebangkitan nasional. Benarkah Budi Utomo adalah pelopor kebangkitan nasional? Jawaban dari pertanyaan ini sangat penting karena akan terkait dengan pertanyaan selanjutnya, sudahkah tepat 20 Mei diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional? Menurut penulis ada dua faktor yang perlu diperhatikan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama; kapan organisasi pertama didirikan dan kedua; bagaimana sifat perjuangannya.
Organisasi pertama
          Tentang organisasi pertama yang didirikan antara lain dapat kita merujuk pada pendapat Ahmad Mansyur Suryanegara (1995). Dalam bukunya “Menemukan Sejarah” beliau menyebutkan bahwa penetapan Budi Utomo sebagai organisasi pelopor pergerakan nasional  tidak mempunyai landasan yang kuat. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa tiga tahun sebelum berdirinya, sudah berdiri Syarikat Dagang Islam (SDI) tepatnya pada tanggal 16 Oktober 1905, yang kemudian berubah nama menjadi  Sarikat Islam (SI) satu tahun kemudian.  Fakta ini didasarkan atas hasil wawancara Tamarjaya dengan KH. Samanhudi, pendiri SDI pada tahun 1952. Hal yang sama diungkapkan oleh KH. Firdaus AN (1999) dalam bukunya “ Dosa-dosa Orde lama dan Orde Baru yang tidak boleh berulang kembali di era  reformasi”,  serta sejarawan Dr. Nina Herlina Lubis dalam pernyataannya seperti dikutif dari Tabloid Suara Islam edisi 21 (Mei 2007).
 Dengan demikian, jika penetapan hari kebangkitan nasional didasarkan pada hari lahir Budi Utomo, maka hal ini jelas sangat keliru. Peringatan hari kebangkitan nasional yang paling tepat adalah tanggal 16 Oktober, hari berdirinya SDI/SI sebagai organisasi pergerakan nasional yang pertama.
Sifat perjuangan
           Dalam konsep perjuangannya, Budi Utomo lebih memilih merapat kepada pemerintah Hindia Belanda daripada perjuangan untuk kepentingan rakyat. Anggotanya yang didominasi oleh pegawai Hindia Belanda, berusaha untuk tetap mempertahankan kedudukannya, misalnya dengan berupaya memperdalam Bahasa Belanda.  Dalam buku sejarah Nasional Indonesia jilid V yang tulis oleh Marwati Djoened Poeponegoro dkk (1990) yang dijadikan sebagai buku standar Sejarah Nasional dikatakan bahwa Budi Utomo sangat mementingkan pengetahuan akan Bahasa Belanda karena tanpa bahasa itu seseorang tidak dapat diharapkan mendapat kedudukan yang layak dalam jenjang kepegawaian kolonial.  
Kalaupun berpikir tentang rakyat maka yang diperjuangkan hanyalah suku Jawa dan Madura saja. Sebagaimana yang tercantum dalam anggaran dasarnya yang antara lain memuat tujuan Budi Utomo yaitu “ de harmonische ontwikkeling van land end volk van Java en Madura”, artinya : “kemajuan yang harmonis untuk nusa bangsa Jawa dan Madura” (Susanto Tirtoprojo, 1989). Dengan demikian  dapat dipahami bahwa   perjuangan Budi Utomo sama sekali tidak bercorak nasional  (kebangsaan) tetapi kedaerahan (kesukuan).   Budi Utomo sama sekali tidak berpikir tentang Indonesia, setidak-tidaknya selama kurun waktu 23 tahun (1908 – 1931). Dalam kurun waktu tersebut Budi Utomo masih menjadi organisasi eksklusif, “menutup diri dari keanggotaan di luar suku Jawa” (Ahmad Masyur Suryanegara, 1995).
Budi Utomo bukanlah organisasi yang bersifat nasional karena nyatanya organiasi ini hanya fokus pada perbaikan nasib orang-orang Jawa dan Madura saja. Budi Utomo juga bukan organisasi yang gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pengurusnya yang terdiri atas para pegawai Hindia Belanda (Ambtenaar) dan kaum bangsawan (ningrat) justru terdiri atas orang-orang yang sangat patuh kepada pemerintah Hindia Belanda. Tidak mungkin mereka dapat memobilisasi rakyat untuk menentang Belanda, karena hal itu berarti mengancam kedudukan mereka.  Itulah sebabnya maka tokoh-tokoh muda seperti dr Sutomo (pendiri Budi Utomo) dan dr Tjipto Mangunkusumo memilih keluar dari organisasi itu.
Dengan sifatnnya yang moderat itu, menurut Asvi Arman Adam (2007), Budi Utomo mendapat sambutan yang baik dari pemerintah Belanda dan dianggap sebagai bukti keberhasilan politik etis.  Karena itu pada tahun 1909 organisasi ini diresmikan oleh pemerintah Belanda sebagai organisasi yang sah. Kedekatan antara Budi Utomo dengan pemerintah Belanda pada akhirnya   memicu kecurigaan dari organisasi-organisasi anti pemerintah terhadap keberadaan budi Utomo sebagai “anak emas” kolonial.
Lalu bagaimana  dengan Sarikat Islam?  Sejak awal berdirinya, Sarikat Islam telah berada di barisan terdepan sebagai organisasi yang memperjuangkan nasib rakyat kecil, meskipun pada awalnya terbatas pada bidang ekonomi yang berbasis Islam, tetapi pada perkembangan selanjutnya SI terjun pada lapangan politik, pendidikaan, dan sosial budaya  yang konsisten memperjuangkan Indonesia merdeka. Perkembangan SI begitu menakjubkan, Sartono Kartodirjo (1992)  menggambarkan perkembangan SI ketika itu sebagai sebuah ‘banjir besar’. Kala itu, menurut Sartono, massa dapat dimobilisasi serentak secara besar-besaran, baik dari kota-kota maupun dari daerah pedesaan sehingga menimbulkan suatu pergolakan yang melanda seluruh Indonesia.
Perjuangan SI tidak terbatas pada etnis tertentu saja tetapi seluruh penduduk asli (pribumi). Hal ini tergambar jelas dalam tujuan organisasi ini sebagaimana yang tercantum dalam statutennya yaitu memajukan kepentingan rohani dan jasmani dari penduduk asli. Bahkan pada kongres tahun 1916 SI menegaskan bahwa istilah “nasional” dipergunakan untuk menegaskan bahwa SI mencita-citakan supaya penduduk asli menjadi satu natie, satu bangsa. Jadi ketika Budi Utomo masih bersikukuh dengan sifat kesukuannya, SI sudah meningkat ingin mempersatukan seluruh rakyat jajahan menjadi sebuah bangsa.  Dalam kongres tahun 1927 tujuan SI lebih dipertegas lagi yakni mencapai kemerdekaan nasional Indonesia, atas dasar agama Islam  (Tirtoprodjo, 1989).
Penetapan Hari Kebangkitan Nasional
          Sangat jelas bahwa dari segi waktu (kapan) berdirinya dan sifat perjuangannya maka yang lebih pantas dijadikan sebagai pelopor kebangkitan nasional adalah Sarikat Dagang Islam dan bukannya Budi Utomo. Dengan demikian Hari Kebangkitan Nasional seharusnya diperingati setiap tanggal 16 Oktober bukannya 20 Mei. Sekarang tinggal menunggu keberanian dan ketegasan dari pemerintah untuk mengambil sikap terkait persoalan ini.
          Masalah ini sangat penting sebagai bagian dari upaya pelurusan sejarah bangsa yang selama ini terkesan banyak dibengkokkan oleh para pemegang kebijakan dengan dalih demi stabiltas negara. Pertanyaannya kemudian apakah stabiltas dapat tercapai dengan memelihara kebohongan? Bukankah kebohongan itu yang justru selalu menimbulkan masalah. Penetapan Hari Kebangkitan Nasional harus segera dikembalikan sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Ini harus segera dituntaskan, kalau tidak, generasi mendatang akan  kehilangan kepercayaan terhadap sejarah bangsanya yang juga berarti meruntuhkan semangat nasionalisme yang telah dibangun dengan susah payah oleh generasi-generasi terdahulu.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nilai Pappasang 1

KEARIFAN LOKAL DALAM SASTRA KELONG

Guru Inspiratif