PEREMPUAN; DARI BELENGGU ADAT KE JERATAN LIBERALISME
PEREMPUAN; DARI BELENGGU ADAT
KE JERATAN LIBERALISME
(Refleksi Hari Kartini)
Abd. Karim Tahir
Guru Inti Pusat Belajar Guru
(PBG) Kab. Gowa
Sejarah pergerakan kaum perempuan Indonesia tidak terlepas dari kepeloporan R.A. Kartini. Putri
Bupati Jepara ini merasa terpanggil setelah melihat dan merasakan sendiri betapa
kaum perempuan di zamannya terbelenggu oleh aturan adat yang sangat tidak adil.
Keadaan perempuan pada masa itu
tergambar dalam surat yang ditulis oleh Kartini kepada sahabatnya, Stellah
Zeehandelaar, seorang gadis Belanda. Dalam
suratnya yang tertanggal 25 Mei 1899, Kartini mengatakan : “ Kami
gadis-gadis masih terikat oleh adat istiadat lama dan sedikit sekali memperoleh
kebahagiaan dari kemajuan pengajaran. Untuk keluar rumah sehari-hari dan
mendapat pelajaran di sekolah saja sudah dianggap melanggar adat. Ketahuilah
bahwa adat negeri kami melarang keras gadis keluar rumah. Ketika saya berusia
duabelas tahun, maka saya dikurung di dalam rumah, saya mesti masuk ‘kurungan’..
Saya dikurung dalam rumah, seorang diri, sunyi senyap terasing dari dunia luar.
Saya tidak boleh keluar dunia itu lagi, bila tidak disertai oleh seorang suami,
seorang laki-laki yang asing sama sekali bagi saya, dipilih oleh orang tua saya
untuk saya, dikawinkan dengan tanpa sepengetahuan saya sendiri.”
Kartini sedikit lebih beruntung dibanding
dengan perempuan-perempuan lainnya. Meskipun dia terlahir dalam keluarga
bangsawan yang teguh memegamg adat, tetapi Ayahnya, R.M.A. Adipati
Sostroningrat yang juga adalah Bupati
Jepara adalah seorang bangsawan yang berpikiran maju. Kartini diberikan
kesempatan untuk mengenyam pendidikan pada sekolah Rendah Kelas 2 di kotanya. Padahal
akses pendidikan bagi perempuan ketika itu sangat dibatasi oleh aturan adat.
Ricklefs (1998) menyebutkan bahwa sebagian besar Bupati di Jawa ketika itu
berpandangan bahwa gagasan mengenai pendidikan bagi kaum wanita sama sekali
tidak bisa diterima.
Pengalaman yang paling berharga bagi
Kartini selama menempuh pendidikan yang kemudian banyak mempengaruhi ide-idenya
adalah pergaulannya dengan anak-anak
gadis Belanda, teman sekolahnya. Kesempatannya bergaul dengan gadis-gadis Belanda telah membuka mata serta
membangkitkan kesadarannya akan dunia luar beserta nilai-nilai dan gaya hidup
yang berbeda dengan apa yang dihayatinya selama ini. Hal inilah yang memperkuat tekatnya untuk berjuang membebaskan
kaumnya dari keterbelakangan.
Perjuangan Kartini dimulai dengan mendirikan sekolah khusus putri
di rumahnya dengan memberikan pelajaran dan keterampilan dasar seperti membaca,
menulis, memasak, dan menyulam. Kartini
yakin bahwa pendidikan akan mengangkat derajat kaum perempuan. Dalam salah satu
suratnya kepada Prof. Anton dan Nyonya tertanggal 4 Oktober 1902, Kartini
menulis : “ Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan
anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena
kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita
lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi
ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”
Perlahan tapi pasti, usaha Kartini
mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan. Sehingga berdirilah
sekolah-sekolah keputrian di berbagai tempat.
Dari sekolah-sekolah keputrian inilah kemudian lahir perempuan-perempuan
yang berpikiran “modern” yang dengan
berani melawan ketidakadilan yang selama ini membelenggunya. Bahkan
kemudian mereka tampil berjuang bersama-sama dengan kaum laki-laki dalam
menegakkan kehormatan bangsanya, mengusir kaum penjajah.
Buah
perjuangan Kartini untuk memajukan kaum perempuan Indonesia boleh dikatakan telah
menghasilkan lompatan yang luar biasa. Kaum perempuan telah bebas mengekpresikan diri tanpa harus
dihambat oleh aturan-aturan adat sebagaimana yang pernah dirasakan oleh Kartini
dan perempuan-perempuan lain di zamannya. Pekerjaan yang dulu menjadi dominasi
laki-laki kini telah banyak diisi oleh kaum perempuan.
Akan tetapi seiring dengan kemajuan itu muncul pula persoalan baru. Dengan dalih
emansipasi, banyaknya kaum perempuan yang “mabuk” kebebasan yang akhirnya terjerat
dalam “jaring” liberalisme yang jauh
lebih berbahaya. Liberalisme yang terus
menerus dikampanyekan oleh negara-negara Barat telah menyeret kaum perempuan ke
dalam konspirasi kapitalisme, mereka tanpa sadar telah dijadikan mesin-mesin
penghasil uang oleh kaum pemodal. Mereka menjadi obyek eksploitasi sistem
kapitalis yang memandang materi adalah segalanya.
Gaya hidup sebagian perempuan kemudian
menjadi sangat hedonis, berlomba-lomba memburu kemewahan dan ketenaran,
sekalipun harus mereduksi nilai-nilai agama dan budaya kemudian memuja budaya
Barat sebagai simbol kemajuan. Padahal
Kartini yang dijadikan sebagai icon perjuangan kaum perempuan, berpandangan
sebaliknya. Kepada Nyonya Abendanon, 27 Oktober 1902 Kartini menulis : “......
tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang
paling baik, tiada taranya. Maafkan kami apakah ibu sendiri menganggap
masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu
yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak
patut disebut peradaban?”
Seorang penulis perempuan, Asri
Supatmiati, menuturkan keresahannya
terhadap nasib kaumnya. Beliau mengatakan, dengan dalih kebebasan berekspresi
setiap inchi tubuh perempuan dijadikan komoditi. Membuka aurat bahkan sampai
adegan berzina pun dilakoni, asalkan mendatangkan materi, aurat perempuan
dilombakan dan dinilai, mana yang paling mendatangkan hoki (keuntungan).
Anehnya, dengan penuh kesadaran, kaum perempuan antre minta dieksploitasi;
bahkan semakin hari kian menggila
(Al-Wa’ie no. 92/April 2008).
Fenomena seperti ini sangat jelas dalam realitas di masyarakat. Perhatikan
saja, tayangan yang disuguhkan melalui Televisi dalam bentuk sinetron, iklan,
acara-acara pencarian bakat, hingga kuis,
terasa tidak sah jika tidak diwarnai penampilan wanita-wanita cantik yang
mengumbar syahwat. Tak hanya perempuan dewasa, gadis-gadis ABG maupun anak-anak,
sejak belia sudah mulai “dikader” untuk menjadi bagian dari bisnis eksploitasi
ini. Seandainya Kartini bisa bangun
kembali dari kuburnya maka yakinlah dia akan menangis melihat kenyataan betapa
misi perjuangannya dahulu tengah dirobek-robek oleh kaumnya yang justru
menganggap diri sebagai penerus Kartini.
Implikasi
dari semua ini adalah terjadinya dekadensi moral yang kemudian berimbas kepada
rusaknya tatanan masyarakat. Walaupun tetap disadari bahwa perempuan bukanlah
penyebab tunggal dari permasalahan ini, tetapi setidaknya, moralitas kaum
perempuan sangat menentukan kondisi sebuah masyarakat. Nabi Muhammad SAW dalam
salah satu hadistnya mengatakan : “perempuan adalah tiang negara, jika
perempuannya baik maka baiklah negara tetapi jika perempuan rusak maka
rusaklah negara”
Karena itu diperlukan sebuah gerakan
untuk “merebut” kaum perempuan dari kaum pemodal dan mengembalikan kehormatan
mereka. Islam sejak awal kehadirannya telah menyelamatkan kaum perempuan dari rusaknya
adat jahiliyah, kemudian menempatkan mereka pada posisi yang sangat terhormat
bahkan lebih mulia dari kaum laki-laki. Islam menyadarkan perempuan tentang kodrat dan jati
dirinya yang sebenarnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa kerusakan yang banyak
terjadi di muka bumi disebabkan oleh pengingkaran manusia terhadap hukum-hukum
Allah, termasuk pengingkaran perempuan terhadap kodrat yang ditetapkan Allah
terhadapnya.
Akhirnya, perjalanan hidup Marlyn
Monroe, patut
pula dijadikan sebagai bahan renungan. Sebelum bunuh diri, Merlyn Monroe
menulis sebuah surat yang kemudian dimasukkan pada sebuah kotak di sebuah bank
di New York. Dalam suratnya dia menulis :”Berhati-hatilah dengan ketenaran,
berhati-hatilah dan waspadalah terhadap sinar-sinar yang menipu kalian.
Sesungguhnya aku adalah wanita yang paling celaka di dunia! Aku tidak mampu
menjadi seorang ibu. Aku adalah seorang wanita yang mencintai rumah. Kehidupan
keluarga adalah simbol kebahagiaan seorang wanita, bahkan simbol bagi
kemanusiaan itu sendiri. Aku adalah seorang wanita yang benar-benar telah
didzalimi oleh manusia-manusia lain. Bekerja dalam sebuah teater atau perfilman
betul-betul menjadikan wanita sebagai barang dagangan murahan dan remeh,
meskipun dia mendapatkan popularitas dan ketinggian.”
👍
BalasHapus👍
BalasHapus